Thursday 27 June 2013

Taman hidup : sebuah perjalanan hati (Bagian 3)


Melewati perjalanan dengan medan yang cukup mengesankan, akhirnya kami sampai pada tujuan. Rasa lelah dan capek karena harus menaiki setapak demi setapak jalan sempit pun langsung hilang dan lenyap saat sampai di Taman Hidup. Disini kami bertemu dengan 4 rekan dari Bandung yang akan melanjutkan perjalanan ke Puncak Argopuro dengan melewati Lembah Lumut, Lembah Batu, 7 Bukit Bidadari, Aeng Kinik, Cisentor, Rawa Embik, Alun-alun Lonceng dan puncaknya, yaitu Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro.
            Hanya sedikit pembicaraan yang kami lakukan dengan rekan dari Bandung tersebut. Kami melanjutkan kegiatan kami dengan mendirikan tenda hingga memasak untuk makan siang bersama *nyummyyy*. Menikmati hidangan siang ini dengan memandang pemandangan indah yang Tuhan berikan. Ahh tak perlu merogoh kocek mahal untuk terbang ketempat nun jauhhh… Disini saya bisa menikmati dengan merogoh kocek tak lebih dari Rp 50.000,-. “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?”
            Jingga kemerahan serta lingkaran yang kita sebut matahari tenggelam secara perlahan dan hilang di balik bukit, membuat saya percaya bahwa lukisan Tuhan tidak akan pernah bosan untuk saya nikmati. Beberapa saat saya terpekur menatap langit, mata ini meraba jingga dan sunset yang merebak menghitam. “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?”
            Pukul 19.00, saya dan teman-teman kembali memasak untuk makan malam dan menu malam ini adalah mie, sosis, tempe dan kerupuk. Makan sambil ditemani sinar Bulan Purnama itu awesome ya. Maklum, kami naik tanggal 15 kalender jawa. Selagi makan, sesekali kami bercanda mengingat perjalanan yang telah kami lewati siang tadi.
Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika kami melihat bayang-bayang hitam keluar dari semak-semak. Sedikit memicingkan mata mencoba menebak gerangan apakah yang sedang berjalan kearah kami saat ini, ahh ternyata beberapa teman kami yang datang menyusul, juga bersama rekan dari Bandung, Jember dan Jakarta. Tim 2 ini tiba dengan membawa gas elpiji. Lega sekali rasanya. Dengan gas elpiji, kami dapat memasak untuk mereka dengan lebih cepat. Wajah-wajah mereka benar-benar lelah dan kelaparan, walau wajah mereka tertelan gelapnya malam, tidak ada yang bersinar seperti wajah Ponds, saya bisa memastikan dengan pasti bahwa mereka benar-benar sangat lapar. Hahaha.
Disela-sela memasak (Jilid 2), kami berbincang sedikit mengenai keterlambatan mereka yang datang sangat larut. Ternyata yang membuat tim 2 datang terlambat adalah dikarenakan harus membackup rekan dari Bandung yang mbecak. Medan yang terguyur hujan disore hari menambah berat medan yang harus ditempuh, ditambah lagi dengan rekan Bandung yang membawa beban yang terlalu berat.
“Saya membaca kalau dari Bermi ke Taman Hidup hanya butuh waktu 15 menit, Mas.” Ujar salah satu rekan dari Bandung.
“Itu data kapan, Mas?” Tanya saya heran.
“Data tahun 2002, Mas.” Jawabnya *gubraaakkkk*
Lha wong warga setempat yang sudah biasa naik saja butuh waktu 1 jam untuk naik, sangat mustahil kalau hanya 15 menit *tepokjidat*. Semestinya web-web yang dibuat untuk memberikan informasi kepada pembaca harus meneliti lagi tulisannya agar tidak menjadi informasi yang menyesatkan.
Jam 23.30, satu persatu dari kami memasuki tenda untuk mengistirahatkan mata. Saya pun bergegas meringkuk dalam tenda. Berlindung dari hawa dingin yang semakin menggigit. Dengan mata terpejam, bayangan-bayangan mengenai sejarah Taman Hidup kembali berganti bersahutan di pelupuk mata yang terpejam. Seperti siluet-siluet dalam film, membayangkan perjalanan Dewi Rengganis yang sangat panjang… Dan melelahkan….. Tahukah Anda sejarah tentang Taman Hidup? Tahukah kenapa puncak dari gunung ini bernama Puncak Rengganis? Saya akan menceritakan sejarah ini hingga mata ini benar-benar terpejam dan lelap…
Siapakah Rengganis? Dewi Rengganis merupakan salah satu trah dari Kerajaan Majapahit, beliau masih keturunan dari Raden Hayam Wuruk. Dewi Rengganis melakukan rentetan perjalanan yang dimulai dengan pelarian beliau dari kejaran Sing Duro (orang-orang Suku Madura), kala itu dimulai dari Gunung Penanggungan dan terus bergerak ke selatan. Gunung Welirang, Gunung Arjuno, Lawang, Nongkojajar, Tosari, Penanjakan, Lautan Pasir, Argosari, Ranu Pane dan Ranu Kumbolo. Di Ranu Kumbolo, Dewi Rengganis bahkan membuat prasasti yang menceritakan kesedihan, kenistapaan dan pengembaraan untuk membela negaranya. Prasasti ini ada hingga saat ini.
Siluet di pelupuk mata ini terus bergerak melanjutkan perjalanan Dewi Rengganis ke Kalimati, Arcopodo, Puncak Mahameru, kemudian turun ke Ireng-ireng, Burno (Senduro) dan Gucialit. Di Senduro, Prasasti Brahmana yang dibawa oleh Dewi Rengganis ditanam disana agar tidak dicuri oleh orang-orang Sing Duro. Hingga di kemudian hari ada orang yang akan membuat sumur menemukan prasasti ini. Setelah diteliti oleh arkeolog, dinyatakan bahwa prasasti tersebut adalah Prasasti Brahmana. Pernyataan tersebut membuat warga Bali terkejut. Bagaimana mungkin ‘harta’ mereka yang paling berharga bisa berada di Tanah Jawa. Yang mana pada akhirnya mereka membuat Pura Agung di Senduro. Sehingga apabila warga Bali akan ‘naik haji’, maka mereka akan mendatangi Pura yang ada di Kabupaten Lumajang ini.
Perjalanan Dewi Rengganis berlanjut terus ke arah timur menuju Gunung Deng Deng (Klakah), Papringan, Lemongan (Lamongan), Ranu Agung, Lawang Kedaton (Kebun teh) hingga akhirnya sampailah pada Taman Hidup. Konon, Taman Hidup merupakan tempat Dewi Rengganis mandi dan bersantai.
Sampai pada cerita ini, saya tidak sanggup lagi melanjutkan, pelupuk mata ini sungguh terasa berat… Hendak memimpikan Dewi Rengganis kah? Entahlah… Tidak sempat memikirkan alasannya dan saya pun terlelap…..

3 comments: