Melewati
perjalanan dengan medan yang cukup mengesankan, akhirnya kami sampai pada tujuan.
Rasa lelah dan capek karena harus menaiki setapak demi setapak jalan sempit pun
langsung hilang dan lenyap saat sampai di Taman Hidup. Disini kami bertemu
dengan 4 rekan dari Bandung yang akan melanjutkan
perjalanan ke Puncak Argopuro dengan melewati Lembah Lumut, Lembah Batu, 7
Bukit Bidadari, Aeng Kinik, Cisentor, Rawa Embik, Alun-alun Lonceng dan
puncaknya, yaitu Puncak Rengganis dan Puncak Argopuro.
Hanya
sedikit pembicaraan yang kami lakukan dengan rekan dari Bandung tersebut. Kami melanjutkan kegiatan kami dengan
mendirikan tenda hingga memasak untuk makan siang bersama *nyummyyy*. Menikmati
hidangan siang ini dengan memandang pemandangan indah yang Tuhan berikan. Ahh
tak perlu merogoh kocek mahal untuk terbang ketempat nun jauhhh… Disini saya
bisa menikmati dengan merogoh kocek tak lebih dari Rp 50.000,-. “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?”
Jingga
kemerahan serta lingkaran yang kita sebut matahari tenggelam secara perlahan
dan hilang di balik bukit, membuat saya percaya bahwa lukisan Tuhan tidak akan
pernah bosan untuk saya nikmati. Beberapa saat saya terpekur menatap langit,
mata ini meraba jingga dan sunset yang merebak menghitam. “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?”
Pukul
19.00, saya dan teman-teman kembali memasak untuk makan malam dan menu malam
ini adalah mie, sosis, tempe dan kerupuk. Makan sambil ditemani sinar Bulan
Purnama itu awesome ya. Maklum, kami
naik tanggal 15 kalender jawa. Selagi makan, sesekali kami bercanda mengingat perjalanan yang telah kami lewati
siang tadi.
Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika kami melihat bayang-bayang hitam keluar dari semak-semak.
Sedikit memicingkan mata mencoba menebak gerangan apakah yang sedang berjalan
kearah kami saat ini, ahh ternyata beberapa teman kami yang datang menyusul,
juga bersama rekan dari Bandung, Jember dan Jakarta. Tim 2 ini tiba dengan membawa gas elpiji. Lega sekali rasanya. Dengan
gas elpiji, kami dapat memasak untuk mereka dengan lebih cepat. Wajah-wajah
mereka benar-benar lelah dan kelaparan, walau wajah mereka tertelan gelapnya
malam, tidak ada yang bersinar seperti wajah Ponds, saya bisa memastikan dengan pasti bahwa mereka benar-benar
sangat lapar. Hahaha.
Disela-sela
memasak (Jilid 2), kami
berbincang sedikit mengenai keterlambatan mereka yang datang sangat larut.
Ternyata yang membuat tim 2 datang terlambat adalah dikarenakan harus membackup rekan dari Bandung yang mbecak. Medan yang terguyur hujan disore
hari menambah berat medan yang harus ditempuh, ditambah lagi dengan rekan
Bandung yang membawa beban yang terlalu berat.
“Saya
membaca kalau dari Bermi ke Taman Hidup hanya butuh waktu 15 menit, Mas.” Ujar
salah satu rekan dari Bandung.
“Itu
data kapan, Mas?” Tanya saya heran.
“Data
tahun 2002, Mas.” Jawabnya *gubraaakkkk*
Lha wong warga setempat yang sudah biasa naik saja butuh waktu 1 jam untuk naik,
sangat mustahil kalau hanya 15 menit *tepokjidat*. Semestinya web-web yang
dibuat untuk memberikan informasi kepada pembaca harus meneliti lagi tulisannya
agar tidak menjadi informasi yang menyesatkan.
Jam
23.30, satu persatu dari kami memasuki tenda untuk mengistirahatkan mata. Saya
pun bergegas meringkuk dalam tenda. Berlindung dari hawa dingin yang semakin
menggigit. Dengan mata terpejam, bayangan-bayangan mengenai sejarah Taman Hidup
kembali berganti bersahutan di pelupuk mata yang terpejam. Seperti
siluet-siluet dalam film, membayangkan perjalanan Dewi Rengganis yang sangat
panjang… Dan melelahkan….. Tahukah Anda sejarah tentang Taman Hidup? Tahukah
kenapa puncak dari gunung ini bernama Puncak Rengganis? Saya akan menceritakan
sejarah ini hingga mata ini benar-benar terpejam dan lelap…
Siapakah
Rengganis? Dewi Rengganis merupakan salah satu trah dari Kerajaan Majapahit,
beliau masih keturunan dari Raden
Hayam Wuruk. Dewi Rengganis melakukan rentetan perjalanan yang dimulai dengan pelarian beliau dari kejaran Sing Duro
(orang-orang Suku Madura), kala itu dimulai dari Gunung Penanggungan dan terus
bergerak ke selatan. Gunung Welirang, Gunung Arjuno, Lawang, Nongkojajar, Tosari, Penanjakan, Lautan Pasir, Argosari, Ranu Pane dan Ranu
Kumbolo. Di Ranu Kumbolo, Dewi Rengganis bahkan membuat prasasti yang menceritakan kesedihan, kenistapaan dan pengembaraan
untuk membela negaranya. Prasasti ini ada hingga saat ini.
Siluet
di pelupuk mata ini terus bergerak melanjutkan perjalanan Dewi Rengganis ke
Kalimati, Arcopodo, Puncak Mahameru, kemudian turun ke Ireng-ireng, Burno (Senduro) dan Gucialit. Di Senduro, Prasasti
Brahmana yang dibawa oleh Dewi Rengganis ditanam disana agar tidak dicuri oleh orang-orang
Sing Duro. Hingga di kemudian hari ada orang yang akan membuat sumur menemukan
prasasti ini. Setelah diteliti oleh arkeolog, dinyatakan bahwa prasasti
tersebut adalah Prasasti Brahmana. Pernyataan tersebut membuat warga Bali
terkejut. Bagaimana mungkin ‘harta’ mereka yang paling berharga bisa
berada di Tanah Jawa. Yang mana pada akhirnya mereka membuat Pura Agung di Senduro. Sehingga apabila warga Bali akan ‘naik
haji’, maka mereka akan mendatangi Pura yang ada di Kabupaten Lumajang ini.
Perjalanan
Dewi Rengganis berlanjut terus ke arah timur menuju Gunung Deng Deng (Klakah),
Papringan, Lemongan (Lamongan), Ranu Agung, Lawang Kedaton (Kebun teh) hingga
akhirnya sampailah pada Taman Hidup. Konon, Taman Hidup merupakan tempat Dewi Rengganis
mandi dan bersantai.
Sampai
pada cerita ini, saya tidak sanggup lagi melanjutkan, pelupuk mata ini sungguh
terasa berat… Hendak memimpikan Dewi Rengganis kah? Entahlah… Tidak sempat
memikirkan alasannya dan saya pun terlelap…..